Arsip Edukasi |
Sejarah Buku Serta Perkembangannya - Semua orang tentu tau inti dari pengertian
buku itu apa? yang pastinya sesuatu yang dapat di baca namun juga bermanfaat untuk kita.contoh nya saja para pejabat maupun para pakar itu ahli di bidang mereka juga pasti karena buku.namun kurang lengkap jika kita hanya membaca buku serta memanfaatkannya namun tidak mengetahui
sejarah buku serta perkembangannya di Dunia.Nah ? kali ini
Arsip Edukasi akan membahasnya untuk anda.
A).Apasih Buku Itu ?
Apa itu Buku, Buku adalah
kumpulan kertas atau bahan lainnya yang dijilid menjadi satu pada salah
satu ujungnya dan berisi tulisan atau gambar. Setiap sisi dari sebuah
lembaran kertas pada buku disebut sebuah halaman. Seiring dengan
perkembangan dalam bidang dunia informatika, kini dikenal pula istilah
e-book atau buku-e (buku elektronik), yang mengandalkan komputer dan
Internet (jika aksesnya online).
B).Sejarah Perkembangan Buku
Pada zaman kuno, tradisi komunikasi masih mengandalkan lisan.
Penyampaian informasi, cerita-cerita, nyanyian, do’a-do’a, maupun syair,
disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut. Karenanya, hafalan
merupakan ciri yang menandai tradisi ini. Semuanya dihafal. Kian hari,
kian banyak saja hal-hal yang musti dihafal. Saking banyaknya, sehingga
akhirnya mereka kuwalahan alias tidak mampu menghafalkannya lagi.
Hingga, terpikirlah untuk menuangkannya dalam tulisan. Maka, lahirlah
apa yang disebut sebagai buku kuno.
Buku kuno ketika itu, belum
berupa tulisan yang tercetak di atas kertas modern seperti sekarang ini,
melainkan tulisan-tulisan di atas keping-keping batu (prasasti) atau
juga di atas kertas yang terbuat dari daun papyrus. Papyrus adalah
tumbuhan sejenis alang-alang yang banyak tumbuh di tepi Sungai Nil.
Mesir merupakan bangsa yang pertama mengenal tulisan yang disebut
hieroglif. Tulisan hieroglif yang diperkenalkan bangsa Mesir Kuno bentuk
hurufnya berupa gambar-gambar. Mereka menuliskannya di batu-batu atau
pun di kertas papyrus. Kertas papyrus bertulisan dan berbentuk gulungan
ini yang disebut sebagi bentuk awal buku atau buku kuno.
Selain
Mesir, bangsa Romawi juga memanfaatkan papyrus untuk membuat tulisan.
Panjang gulungan papyrus itu kadang-kadang mencapai puluhan meter. Hal
ini sungguh merepotkan orang yang menulis maupun yang membacanya. Karena
itu, gulungan papyrus ada yang dipotong-potong. Papyrus terpanjang
terdapat di British Museum di London yang mencapai 40,5 meter.
Kesulitan
menggunakan gulungan papyrus, di kemudian hari mengantarkan
perkembangan bentuk buku mengalami perubahan. Perubahan itu selaras
dengan fitrah manusia yang menginginkan kemudahan. Dengan akalnya,
manusia terus berpikir untuk mengadakan peningkatan dalam peradaban
kehidupannya. Maka, pada awal abad pertengahan, gulungan papyrus
digantikan oleh lembaran kulit domba terlipat yang dilindungi oleh kulit
kayu yang keras yang dinamakan codex.
Perkembangan selanjutnya,
orang-orang Timur Tengah menggunakan kulit domba yang disamak dan
dibentangkan. Lembar ini disebut pergamenum yang kemudian disebut
perkamen, artinya kertas kulit. Perkamen lebih kuat dan lebih mudah
dipotong dan dibuat berlipat-lipat sehingga lebih mudah digunakan.
Inilah bentuk awal dari buku yang berjilid.
Di Cina dan Jepang,
perubahan bentuk buku gulungan menjadi buku berlipat yang diapit sampul
berlangsung lebih cepat dan lebih sederhana. Bentuknya seperti
lipatan-lipatan kain korden.
Buku-buku kuno itu semuanya ditulis
tangan. Awalnya yang banyak diterbitkan adalah kitab suci, seperti
Al-Qur’an yang dibuat dengan ditulis tangan.
Di Indonesia
sendiri, pada zaman dahulu, juga dikenal dengan buku kuno. Buku kuno itu
ditulis di atas daun lontar. Daun lontar yang sudah ditulisi itu lalu
dijilid hingga membentuk sebuah buku.
Perkembangan perbukuan
mengalami perubahan signifikan dengan diciptakannya kertas yang sampai
sekarang masih digunakan sebagai bahan baku penerbitan buku. Pencipta
kertas yang memicu lahirnya era baru dunia perbukuan itu bernama Ts’ai
Lun. Ts’ai Lun berkebangsaan Cina. Hidup sekitar tahun 105 Masehi pada
zaman Kekaisaran Ho Ti di daratan Cina.
Penemuan Ts’ai Lun telah
mengantarkan bangsa Cina mengalami kemajuan. Sehingga, pada abad kedua,
Cina menjadi pengekspor kertas satu-satunya di dunia.
Sebagai
tindak lanjut penemuan kertas, penemuan mesin cetak pertama kali
merupakan tahap perkembangan selanjutnya yang signifikan dari dunia
perbukuan. Penemu mesin cetak itu berkebangsaan Jerman bernama Johanes
Gensleich Zur Laden Zum Gutenberg.
Gutenberg telah berhasil
mengatasi kesulitan pembuatan buku yang dibuat dengan ditulis tangan.
Gutenberg menemukan cara pencetakan buku dengan huruf-huruf logam yang
terpisah. Huruf-huruf itu bisa dibentuk menjadi kata atau kalimat.
Selain itu, Gutenberg juga melengkapi ciptaannya dengan mesin cetak.
Namun, tetap saja untuk menyelesaikan satu buah buku diperlukan waktu
agak lama karena mesinnya kecil dan jumlah huruf yang digunakan
terbatas. Kelebihannya, mesin Gutenberg mampu menggandakan cetakan
dengan cepat dan jumlah yang banyak.
Gutenberg memulai pembuatan
mesin cetak pada abad ke-15. Teknik cetak yang ditemukan Gutenberg
bertahan hingga abad ke-20 sebelum akhirnya ditemukan teknik cetak yang
lebih sempurna, yakni pencetakan offset, yang ditemukan pada pertengahan
abad ke-20.
2. Buku di Era Modern
Di era modern sekarang ini
perkembangan teknologi semakin canggih. Mesin-mesin offset raksasa yang
mampu mencetak ratusan ribu eksemplar buku dalam waktu singkat telah
dibuat. Hal itu diikuti pula dengan penemuan mesin komputer sehingga
memudahkan untuk setting (menyusun huruf) dan lay out (tata letak
halaman). Diikuti pula penemuan mesin penjilidan, mesin pemotong kertas,
scanner (alat pengkopi gambar, ilustrasi, atau teks yang bekerja dengan
sinar laser hingga bisa diolah melalui computer), dan juga printer
laser (alat pencetak yang menggunakan sumber sinar laser untuk menulis
pada kertas yang kemudian di taburi serbuk tinta).
Semua penemuan
menakjubkan itu telah menjadikan buku-buku sekarang ini mudah dicetak
dengan sangat cepat, dijilid dengan sangat bagus, serta hasil cetakan
dan desain yang sangat bagus pula. Tak mengherankan bila sekarang ini
kita dapati berbagai buku terbit silih berganti dengan penampilan yang
semakin menarik.
Bahkan sampai sekarang ini pun, di negara kita
Indonesia, kendati sedang diterpa krisis, kondisi ekonomi masih
gonjang-ganjing, tapi penerbit-penerbit buku malahan bermunculan. Banyak
sekali jumlahnya, hingga tak terhitung, sebab tak tersedia data yang
dapat dipertanggungjawabkan. Tidak juga di Ikatan Penerbit Indonesia
[IKAPI]. Sebab tidak semua penerbit bergabung dengan lembaga ini.
Namun,
dari pengamatan sekilas saja, kita akan dapat segera menyimpulkan,
betapa penerbit-penerbit buku saat ini semakin banyak saja jumlahnya.
Tengoklah, di toko-toko buku yang ada di berbagai kota di negeri ini,
maka akan kita jumpai, berderet-deret bahkan bertumpuk-tumpuk buku-buku
baru terbit silih berganti bak musim semi dengan beragam judul dan
beraneka desain sampul yang menawan dari berbagai penerbit, baik dari
penerbit besar yang sudah mapan dan lebih dulu eksis, maupun dari
penerbit kecil yang baru merintis dan masih kembang-kempis.
Animo
masyarakat pun terhadap buku nampak juga mengalami peningkatan. Ini
nampak dari banyaknya buku-buku bestseller yang laris manis diserbu
masyarakat.
Memang, dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia
yang nyaris 200 juta orang, sungguh mengherankan bahwa sebuah judul buku
yang laku beberapa ribu saja sudah terasa menyenangkan dan dianggap
bestseller. Akan tetapi, kondisi ini tentu jauh lebih baik bila
dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.
Bagi seorang muslim da’i
yang memiliki komitmen dengan dakwah, kondisi di atas akan dimanfaatkan
untuk kepentingan dakwah. Menulis buku-buku bernuansa dakwah adalah
pilihan yang sudah selayaknya untuk dilakukan. Agar buku benar-benar
menjelma fungsinya sebagai pencerdas dan pencerah umat, bukan
sebaliknya.
C). Sejarah Perkembangan Buku di Indonesia
Di Indonesia, awalnya bentuk buku masih berupa gulungan daun lontar.
Menurut Ajib Rosidi (sastrawan dan mantan ketua IKAPI), secara garis
besar, usaha penerbitan buku di Indonesia dibagi dalam tiga jalur, yaitu
usaha penerbitan buku pelajaran, usaha penerbitan buku bacaan umum
(termasuk sastra dan hiburan), dan usaha penerbitan buku agama.
Pada
masa penjajahan Belanda, penulisan dan penerbitan buku sekolah dikuasai
orang Belanda. Kalaupun ada orang pribumi yang menulis buku pelajaran,
umumnya mereka hanya sebagai pembantu atau ditunjuk oleh orang Belanda.
Usaha
penerbitan buku agama dimulai dengan penerbitan buku-buku agama Islam
yang dilakukan orang Arab, sedangkan penerbitan buku –buku agama Kristen
umumnya dilakukan oleh orang-orang Belanda.
Penerbitan buku
bacaan umum berbahasa Melayu pada masa itu dikuasai oleh orang-orang
Cina. Orang pribumi hanya bergerak dalam usaha penerbitan buku berbahasa
daerah. Usaha penerbitan buku bacaaan yang murni dilakukan oleh
pribumi, yaitu mulai dari penulisan hingga penerbitannya, hanya
dilakukan oleh orang-orang Sumatera Barat dan Medan. Karena khawatir
dengan perkembangan usaha penerbitan tersebut, pemerintah Belanda lalu
mendirikan penerbit Buku Bacaan Rakyat. Tujuannya untuk mengimbangi
usaha penerbitan yang dilakukan kaum pribumi. Pada tahun 1908, penerbit
ini diubah namanya menjadi Balai Pustaka. Hingga jepang masuk ke
Indonesia, Balai Pustaka belum pernah menerbitkan buku pelajaran karena
bidang ini dikuasai penerbit swasta belanda.
Sekitar tahun
1950-an, penerbit swasta nasional mulai bermunculan. Sebagian besar
berada di pulau Jawa dan selebihnya di Sumatera. Pada awalnya, mereka
bermotif politis dan idealis. Mereka ingin mengambil alih dominasi para
penerbit Belanda yang setelah penyerahan kedaulatan di tahun 1950 masih
diijinkan berusaha di Indonesia.
Pada tahun 1955, pemerintah
Republik Indonesia mengambil alih dan menasionalisasi semua perusahaan
Belanda di Indonesia. Kemudian pemerintah berusaha mendorong pertumbuhan
dan perkembangan usaha penerbitan buku nasional dengan jalan memberi
subsidi dan bahan baku kertas bagi para penerbit buku nasional sehingga
penerbit diwajibkan menjual buku-bukunya denga harga murah.
Pemerintah
kemudian mendirikan Yayasan Lektur yang bertugas mengatur bantuan
pemerintah kepada penerbit dan mengendalikan harga buku. Dengan adanya
yayasan ini, pertumbuhan dan perkembangan penerbitan nasional dapat
meningkat denganc epat. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang
didirikan 1950, penerbit yang menjadi anggota IKAPI yang semula
berjumlah 13 pada tahun 1965 naik menjadi 600-an lebih.
Pada
tahun 1965 terjadi perubahan situasi politik di tanah air. Salah satu
akibat dari perubahan itu adalah keluarnya kebijakan baru pemerintah
dalam bidang politik, ekonomi dan moneter. Sejak akhir tahun 1965,
subsidi bagi penerbit dihapus. Akibatnya, karena hanya 25% penerbit yang
bertahan, situasi perbukuan mengalami kemunduran.